Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 3 Maret 2025. (Foto: BPMI Setpres) |
"Dalam perencanaan apapun, termasuk Koperasi Desa, tidak ada yang sempurna. Tapi kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu manis dan pahitnya. Yang terpenting, kita kawal semangat untuk memajukan desa harus dijaga, sambil terus kita kontrol agar kebijakan ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi Masyarakat desa." tutur Abdul Rohim, Ketua DPD ABPEDNAS Sumatera Selatan.
Anggota BPD yang tergabung di ABPEDNAS (Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional ), DPP menampung pro kontra terhadap pembentukan Koperasi desa dan posisi Bumdes.
Alasan Mendukung Pendirian Koperasi Desa,
Abdul Rohim, Ketua DPD ABPEDNAS Sumatera Selatan punya alasan mendukung terbentuknya Koperasi Desa Merah Putih. Yang pertama, Koperasi Desa diharapkan melindungi masyarakat desa dari Rentenir. Dengan akses pembiayaan yang lebih mudah, masyarakat tidak lagi terjebak utang berbunga tinggi yang memberatkan ekonomi keluarga.
Kedua, meningkatkan Produktivitas dan Kesejahteraan Ekonomi. Dana segar yang disalurkan ke koperasi dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi desa. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa tumbuh pesat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan warga.
Ketiga, pengelolaan yang Lebih Terstruktur. Koperasi memiliki kewajiban melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai bentuk pertanggungjawaban pengurus. Hal ini membuat pengawasan dan evaluasi akan lebih mudah dilakukan, sehingga potensi penyalahgunaan dana dapat diminimalkan. Tentunya inisiasi pendirian Koperasi desa harus berasal dari anggota.
Meski begitu, muncul kekhawatiran dan dan tantangan yang akan muncul di lapangan dengan berdirinya Koperasi Desa. Gus Majid, anggota BPD, Pengurus DPC ABPEDNAS Lamongan Jawa Timur yang juga aktif di BUMDES melihat akan muncul potensi tumpang tindih Kopdes dengan BUMDes. Apalagi banyak Bumdes yag belum berjalan maksimal sesuai rencana.
"Banyak BUMDes saat ini tidak berjalan optimal, saya menyarankan agar pemerintah membereskan tata kelola BUMDes terlebih dahulu, baru kemudian mengembangkan koperasi desa sebagai unit usaha di bawahnya." ujarnya.
Akibat rendahnya kualitas dan kapasitas SDM pengelola Bumdes yang sangat terbatas, banyak Bumdes yang mangkrak dan menyisakan masalah kerugian negara dan hukum.
Samsul Arifin, Ketua DPC ABPEDNAS Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menyebutkan contoh, banyak BUMDes gagal karena pengurusnya kurang kompeten atau tidak memiliki keahlian bisnis.
"Di desa saya, 80% BUMDes mati suri akibat pengurus yang tidak profesional dan cenderung mengutamakan kepentingan pribadi. Akhirnya menyeret mereka ke masalah hukum," jelas Samsul Arifin.
Hal senada juga disampaikan Hendra Gunawan, Pengurus DPP ABPEDNAS. Ia menilai Dana Desa bakal ditarik dan masuk ke Koperasi Desa. Hal Ini akan mengancam keberlanjutan program Pembangunan di desa-desa yang sudah diputuskan dalam Musdes.
"Dana desa yang selama ini diperjuangkan untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan potensi lokal tidak boleh dialihkan begitu saja. "Kalau mau bentuk koperasi, fungsikan saja Kementerian Koperasi dan libatkan BUMN tanpa menyentuh dana desa," ujarnya.
Menyikapi pro dan kontra pendirian Koperasi Desa, Indra Utama Ketua Umum DPP ABPEDNAS mengusulkan perlunya persiapan yang mendalam seperti melakukan public hearing, pelatihan, pengawasan dan adanya kolaborasi dengan meminta masukan dari stakeholder desa serta organisasi desa yang akan merasakan langsung kehadiran Koperasi Desa Merah Putih.
Jika pemerintah ingin menyelamatkan perekonomian masyarakat desa dan memajukan desa-desa melalui pendirian Koperasi Desa, perlu dipikirkan Solusi dan menghadapi potensi kegagalan yang mungkin muncul dan langkah strategis yang bisa diambil.
"Sebelum Koperasi Desa diluncurkan, pemerintah idealnya meminta masukan dari organisasi desa agar tujuan yang dicapai bisa sejalan dan didukung. Perlu diyakinkan, apakah sumbernya dari Dana Desa dan bagaimana dengan dengan posisi Bumdes yang sudah ada," ungkap Indra Utama.
Selain itu, agar tidak mengulang kegagalan Sebagian besar Bumdes, perlu dilakukan mengadakan pelatihan intensif bagi calon pengurus dan anggota koperasi. Mulai dari membuat plan bisnis sampai membuat strategi usaha dan pertanggungjawaban yang transparan.
"Butuh pengawasan yang ketat, selain memperkuat tupoksi BPD, bisa juga dibentuk lembaga pengawas independen yang secara berkala mengevaluasi kinerja koperasi dan memastikan dana digunakan sesuai peruntukan. Hal ini mengingat besarnya dana kelolaan Koperasi Desa dan bidang usaha yang dijalankan. “Jangan sampai Koperasi Desa nanti menjadi ladang baru para koruptor yang tidak pernah puas menguras uang rakyat," imbuhnya.
Jika peran dan operasional BUMDES dan bisa diperbaiki, harus ada sinergi Kopdes dengan BUMDes dan Stakeholder Lokal: Misalnya, Koperasi Desa bisa saja menjadi unit usaha di bawah BUMDes, sehingga tidak ada tumpang tindih. Kolaborasi Koperasi, Bumdes dengan petani, kelompok tani, nelayan dan dinas terkait bisa memperkuat ekosistem bisnis lokal.
Pendirian koperasi desa idealnya berpotensi menjadi terobosan yang mempercepat pertumbuhan ekonomi desa. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesiapan sumber daya manusia, pengawasan yang tegas, dan kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga koperasi desa tetap berjalan sesuai prinsip gotong royong.
Ketua DPD ABPEDNAS Sumsel, Abdul Rohim menuturkan, "Dalam perencanaan apapun, termasuk Koperasi Desa, tidak ada yang sempurna. Tapi kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu manis dan pahitnya." Yang terpenting, kita kawal semangat untuk memajukan desa harus dijaga, sambil terus kita kontrol agar kebijakan ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi Masyarakat desa. Red
Sumber: DPP ABPEDNAS