Chandra Hamzah: Penjual Pecel Lele Bisa Dijerat UU Tipikor

Mantan komisioner KPK, Chandra Hamzah, akan menduduki posisi Komisaris Utama BTN. Chandra menggantikan Asmawi Syam. Dok. Seto Wardhana

Dalam sidang uji materiil UU Tipikor di MK, Chandra Hamzah mengingatkan pasal yang bisa saja digunakan menjerat penjual pecel lele.



Wartapembaruan.online JAKARTA-- Salah satu pendiri dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Chandra M Hamzah, menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor menimbulkan masalah. Sebab, kedua pasal itu bisa saja dipakai untuk menjerat penjual pecel lele.

Chandra menyampaikan hal ini dalam sidang uji materiil UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi atau MK dengan agenda mendengar keterangan DPR serta keterangan ahli dan saksi pemohon perkara nomor 142/PUU-XXII/2024.

Perkara tersebut pada intinya mengujikan dua pasal yang berisi ketentuan menjerat perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu.

Ia menilai, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, penjual pecel lele di trotoar juga dapat dipidanakan. "Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi. Ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara," ujar Chandra, dikutip dari keterangan resmi di laman MK, Jumat, 20 Juni 2025.

Adapun Pasal 2 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."

Sedangkan pada Pasal 3 tertulis, "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."

Chandra Hamzah berargumen bahwa kedua pasal itu problematik. Menurut dia, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta. Asas lex certa merujuk bahwa rumusan delik pidana harus jelas, sedangkan lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi. 

Eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menilai, penjual pecel lele termasuk "setiap orang" yang melakukan perbuatan "melawan hukum" apabila ia berjualan di atas trotoar. Pasalnya, trotoar seharusnya digunakan pejalan kaki. Kemudian penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau memperkaya diri sendiri. Lalu dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara itu rusak, penjual tersebut dapat dianggap pula merugikan keuangan negara.

Tak hanya itu, Chandra juga berpendapat bahwa frasa "setiap orang" yang dimuat dalam Pasal 3 UU Tipikor mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Menurut dia, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. Padahal, ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Chandra pun mengatakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor perlu dihapuskan karena melanggar asas lex certa, yakni soal perbuatan apa yang bisa dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

Sementara itu, Pasal 3 perlu direvisi dan disesuaikan dengan aturan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Anti Korupsi atau United Nation Convention Againt Corruption (UNCAC). "Menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, 'setiap orang' diganti dengan 'pegawai negeri' dan 'penyelenggara negara' karena itu memang ditujukan untuk pegawai negeri dan kemudian menghilangkan frasa 'yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara' sebagaimana rekomendasi UNCAC," ujar Chandra. 





(Red/Tempo)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال